Personal Footprints on a Brand


Siapa yang pernah ingat dengan Permen Kis? Brand ini adalah merek permen yang sangat terkenal bukan hanya karena permennya, namun karena tulisan yang ada di belakang permen Kis.  Tulisan ini kemudian menjadi viral dari bagaimana promosi brand ini. Banyak teman-teman yang kemudian membeli 1 bungkus besar permen Kis, lalu mengambil dan menjejerkan tulisan-tulisan lucunya, lalu memberikan pada temannya sebagai hal yang ingin dia obrolkan pada temannya tersebut.


Lupakan tentang Permen Kis, mari beranjak ke salah satu brand yang komunikasinya juga sangat menarik, sebut saja Coca Cola. Salah satu komunikasi kreatifnya adalah bagaimana pembeli Coca Cola dapat berbagi produk tersebut sesuai dengan yang tertera di packaging dan dapat merasakan previllege namanya dituliskan di botol/kaleng Coca Cola. Misalnya saja, namamu adalah Robert, dan Coca Cola akan menuliskan namamu itu di bungkus Coca Cola. 



Dua brand di atas adalah brand-brand yang terkenal, yang satu di kancah nasional, satu lagi di kancah internasional. Aktivasi Permen Kis ini ada di sebelum era digital seperti sekarang, sedangkan aktivasi Coca Cola itu ada baru-baru ini. Apa kemudian yang menjadi kesamaan dari kedua brand tersebut? 

Kedua brand ini adalah brand yang menggunakan personal touchpoints sebagai strategi komunikasinya. Personal touchpoints adalah bagaimana brand bisa menyentuh sisi personal dari marketnya, bisa dari produk itu sendiri maupun value yang didapat dari produk. Permen Kis menyampaikan sebuah komunikasi dalam produknya, berupa ekspresi-ekspresi umum seperti “Maaf ya”, “Jadian Yuk”, “I love you” dan lain-lain. Sementara Coca Cola menghadirkan personal touchpoint dalam penulisan namamu sendiri di packagingnya.

Menarik kampanye yang dibawa oleh Coca Cola, yakni “Share A Feeling, #ShareACoke with names”. Konsep yang punya personal touchpoint ini hadir dalam berbagai viral di media sosial. Banyak yang kemudian penasaran dengan produk ini, ingin nama mereka tertera di packaging. Setelah mendapatkan mereka seakan langsung ingin mengunggah di media sosial.

Ketika kita berbicara tentang masa sekarang, kita berbicara tentang masa digital. Banyak hal yang dilakukan secara digital, dan bahkan bisa mencakup banyak aspek dalam hidup kita secara personal. Koran cetak mulai ditinggalkan, e-book mulai berkembang. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, mayoritas pengguna internet di Indonesia berada di usia 18-35 tahun, dengan porsi lebih banyak di usia 18-25 tahun.


Young netizen kemudian yang bisa dibilang menjadi mayoritas market di digital. Young netizen ini adalah generasi yang penuh dengan aktualisasi diri. Social media misalnya, memudahkan mereka untuk cepat berbagi informasi dengan orang lain, dalam share location di mana mereka berada, gambar, ekspresi dalam bentuk tweet atau facebook post dan lain-lain. Menurut Total Youth Research, bahkan 23% dari generasi netizen muda ini pun mengalami stres ketika mereka jauh dari handphone mereka. Bahkan Total Youth Research juga menyebutkan tentang


Habit-habit seperti ini adalah habit yang kemudian harus dipahami oleh para pelaku industri yang bermain di dunia digital. Dari beberapa habit di atas, personal brand experience menjadi hal yang penting dalam branding di dunia digital. Bagaimana rekomendasi teman menjadi salah satu trust point di digital marketing. Untuk itu brand kemudian harus menemukan cara dan strategi uniknya dalam mendekati target market. 

We Are Social Singapore pernah berbicara bahwa “Focus on people, not technology. Build conversations not campaign. Conversation is king, not content”. Bagaimana membangun sebuah dialog di media sosial adalah tentang engagement dan interaksi dari brand dan marketnya. Bagaimana menjadikan sebuah ide menjadi percakapan antar sesama market. Garisbawahi kata kunci “percakapan antar sesama market”. Ini adalah apa yang menjadi kekuatan beberapa kempen dari brand-brand termasuk Coca Cola yang telah dibahas sebelumnya.


Coca Cola “Share a Coke” menjadi viral di dunia digital. Lebih dari 600,000 hashtag #ShareACoke di instagram yang berisikan orang-orang yang memposting foto tentang Coca Cola. Mereka berbagi kebahagiaan mereka dengan coca cola dan menjadikan produk Coca Cola menjadi talkable. Market dengan mudah mengekspresikan apa yang ingin mereka sampaikan secara personal melalui produk. Ini salah satu faktor dari kempen Coca Cola yang memenangkan hati marketnya. Bahkan bisa dibilang sebuah brand yang baik tak hanya mengakomodasi market akan produknya, tapi juga meninggalkan footprints atas valuenya. Ketika footprints itu ada di hati audiens sebuah brand, apalagi di jaman digital ini akan sangat memudahkan akomodasi bagaimana brand experience itu bisa disampaikan secara word of mouth, dari satu akun digital ke akun lainnya.


No comments:

Post a Comment