Social Judgement Di Media Sosial

Gak ada yang gak tau tentang media sosial, termasuk yang membaca artikel ini. Apa saja media sosial yang kamu tahu? Facebook? Twitter? Instagram? Snapchat? Apa lagi? Media sosial ini rupanya memang sangat seksi untuk dibahas. Selain keragaman konten yang ada di dalamnya, media sosial itu kemudian bisa dibilang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Berdoa sebelum makan berganti ke memotret makanannya lalu mengunggahnya ke instagram story. Atau foto sepasang kekasih di dompet kini berganti menjadi avatar berdua hingga album khusus di facebook. Atau dulu orang-orang sangat menghitung karakter sebelum mengirimkan sebuah sms, berganti menjadi chat yang panjang lebar bahkan bisa ngomongin orang lain.

Beberapa waktu lalu, saya sempat mengutarakan opini saya mengenai sebuah judgement khusus di media sosial. Berawal dari sebuah tweet ini,
Media sosial melahirkan sebuah fitur yang diberi nama "profile", kamu bisa membuat profilmu di kanal media sosial tersebut, membuat sebuah biografi yang bijak atau "kamu banget", mengatur konten-konten di dalamnya yang sesuai dengan profilmu, hingga memasukkan link tentang blogmu atau media sosialmu yang lain. Kebebasan berekspresi di media sosial membuatmu bebas berbicara apa saja, entah itu yang menjadi kapasitasmu atau tidak. Bahkan banyak sekali yang membuat konten-kontennya menjadi karya.

Keaktifan seseorang di media sosial membuat sebuah lingkaran pertemanan terbentuk, syukur-syukur jika banyak yang menyukai "dia" sehingga terbentuklah fans. Di media sosial, konten yang engage akan cepat sekali menjadikan seseorang seperti, maaf, seleb. Relation circle yang lahir di media sosial ini rupanya cukup unik karena mampu melahirkan social labeling. Apa itu social labeling? Sebuah pelabelan sosial adalah sebuah pemberian identitas (khususnya di dunia maya) atas bagaimana behaviournya di medium tersebut oleh lingkarannya. Pelabelan ini terbentuk karena waktu dan akumulasi atas apa yang terjadi. Misalnya, kamu adalah orang yang hobi posting tentang makanan, maka orang akan berpikir bahwa kamu adalah si tukang makan yang hobinya adalah lapar dan mencari makanan enak. Atau kamu adalah orang yang hobi posting belahan dadamu, maaf, dan berbagai konten vulgar lainnya, maka orang akan berpikir bahwa kamu adalah orang yang nakal.



Pelabelan ini adalah social judgment, yang bisa berupa hukuman ataupun pujian terhadap akumulasi konten yang dihasilkan. Menarik ketika ada orang yang berpikir bahwa "kalau kamu belum pernah duduk ngebir sama aku, maka kamu gak punya hak ngejudge aku!". Well, dia orang yang aktif di media sosial, hobinya gosipin artis dan orang-orang lain di linimasanya, lantas orang salah ketika memberi judgement "Si tukang nyinyir atau sumber ghibah timeline"? Atau kamu orang yang hobi postang-posting hal vulgar seperti seks dan lain-lain, dan kamu marah ketika ada orang tak dikenal "bercanda nakal" denganmu? Atau ingin bilang "aku ini sebenernya gak kayak gitu!".

What. The. Hell.

Media sosial memberikan kesempatan orang untuk melakukan judgement. You are what you post. Social labeling is something earned. Media sosial bukan lagi dunia maya seperti banyak ditafsirkan orang, Dunia digital menjadi sebuah belahan dunia lain, yang juga sama-sama real. Orang tidak mau tau tentang apa kepribadian dirimu yang sebenarnya, mereka hanya tau kamu dari apa yang kamu sajikan di media sosial. Bodo amat dengan kepribadianmu yang sebaik/sejahat itu, karena itu bukan apa yang mereka lihat di media sosial.

Beberapa orang menganggap media sosial adalah ajang untuk menunjukkan eksistensi diri, untuk itu mereka butuh yang dinamakan social recognition, atau sebuah pengakuan sosial. Mereka butuh diakui dengan cara posting  foto yang banyak di instagram ketika sedang liburan, foto tiket bioskop lalu diunggah di path, atau bahkan hanya sekedar beli rokok di minimarket lalu check in di facebook. Misalnya ketika kamu ingin menunjukkan eksistensimu dengan posting berbagai tempat liburanmu,  kamu ingin dianggap penyuka travelling, ada additional judgement yang bisa tercipta seperti "dia anak orang kaya ya? Gak kerja kok bisa liburan terus" hingga "gak kerja kok uangnya banyak sih buat liburan? Pasti peliharaan om-om ya?".

Terkadang judgement ini bisa berujung bully, entah itu mengarah ke identitas sosial yang terbentuk atau pun merembet ke hal-hal yang lain. Bagaimana kita bisa mengatasi social judgement? Anggaplah media sosial adalah sebuah hal yang serius, sebuah hal yang perlu strategi untuk menjalankannya. Media sosial tidak bisa diremehkan sebagai "halah itu kan cuma tweet doang" atau "ya aku kalau ngungkapin kemarahanku cuma ke path doang kok". Media sosial adalah identitas barumu, yang membuat bagaimana kamu bisa diterima di lingkungan realmu (dalam versi media sosial). Ini adalah tentang sesuatu jangka panjang. Kamu tidak pernah bisa menebak nasibmu beberapa tahun kemudian, tapi media sosial memberimu jalan juga rintangan untuk masa depanmu. Be wise and real.



No comments:

Post a Comment