Siapa yang tak jatuh cinta pada
sesuatu yang berbau seni? Seni adalah sesuatu yang menurut saya pribadi adalah
sebuah ungkapan rasa, karsa dan karya manusia. Entah apa pun di balik seni itu,
si pencipta seni itu (baca: seniman) ingin mengekspresikan pikirannya kepada
audiens. Alurnya sesimpel pikiran yang terekspresikan melalui karya, lalu
diterima oleh audiens melalui apa yang sering kita sebut sebagai apresiasi.
Saya bukan seniman, bahkan
mewarnai saja saya masih kalah dengan anak SMP. Nilai karya tangan saya (dahulu
nama pelajarannya adalah Kerajinan Tangan dan Kesenian) itu saja bukan nilai
saya. Ketika ada tugas membuat karya seni, saya bawa pulang lalu ibu saya yang
mengerjakannya, lalu minggu depannya saya bawa ke sekolah dalam bentuk yang
sudah sangat indah.
Saya bukan seniman, bahkan
melipat kertas saja tidak pernah rapi. Jangankan melipat dan membentuk pesawat
atau burung, menggunting saja saya tidak benar sehingga hasil guntingannya “keluar
garis”. Ehehe, saya memang tidak berbakat membuat karya seni. Saya cuma bisa kagum
atas sesuatu yang indah. Kagum atas origami yang ribet sampai berbentuk “optimus
prime”, atau lukisan realis yang bahkan mampu membuat wajah di lukisan lebih
ganteng daripada objek aslinya, atau mengambil kuas dan membuat mural raksasa
di tembok yang besar.
Tinggal di sebuah kota yang sarat
akan seni, Yogyakarta memang kota dengan budaya yang amat sangat kuat.
Kebudayaan kuat ini banyak sekali diekspresikan ke macam-macam media. Entah itu
bisa jadi batik di pakaian, lukisan, pertunjukan wayang, langgem, dan
lain-lain. Apalah saya ini di tengah-tengah banyak orang yang mampu membuat
karya seni. Di mana di setiap sudut kota mampu dijumpai karya seni apa pun itu.
Ngomongin tentang seni, lebih
enak memang kita ngobrol tentang pameran seni, di mana karya seni dikumpulkan
di satu tempat dengan tujuan mengundang publik untuk mengapresiasi. Art Jog dan
Biennale adalah salah satu pameran yang keren yang pernah saya datangi. Di situ
banyak sekali karya yang keren dan artistik. Eh tunggu, apakah karya seni itu
hanya kekerenannya saja ya? Maaf sekali lagi, saya tidak begitu mengerti seni.
Saya banyak melihat karya seni yang keren namun sebenarnya tidak mengerti betul
maksud karya seni itu. Kata orang “Kan
ada caption, dibaca dong”. Namun sekali lagi, caption di karya seni itu lagi-lagi berupa kalimat seni. Entah
mungkin saya saja yang tidak bisa mengapresiasi atau pikiran seniman yang
berlapis sehingga saya butuh tangga untuk mendalami setiap lapisan maksudnya.
Pameran seni itu keren betul. Menurut
saya susah untuk mengumpulkan ekspresi-ekspresi seniman, dikaryakan dan
dikumpulkan dalam satu wadah yaitu pameran. Pernah saya datang ke pembukaan
pameran seni, ramai betul. Banyak orang di sana, yang mungkin pemahaman tentang
seni di atas saya. Eh, jangan-jangan ada yang seperti saya juga? Jika banyak
yang seperti saya (baca: kurang mampu memahami seni), maka berapa banyak tepuk
tangan atas karya seni yang dilontarkan namun kurang mengerti apa maksud dari
karya seni itu. Mungkin ada juga yang pulang, lalu tidak menangkap maksud dari
karya seni itu.
Jujur, saya sangat tertarik
plesir ke pameran seni. Mungkin untuk saya belajar bagaimana seni tersebut ada
dan berproses. Saya tertarik dengan banyak hal seputar seni yang mungkin bisa
saya ambil maknanya, namun sayang sekali banyak pameran yang saya kurang tahu.
Entah kenapa, informasi tentang pameran seni kebanyakan saya dapatkan jika
menyusuri daerah prawirotaman dan tirtodipuran saja, atau tempat-tempat di mana
memang banyak galeri seninya. Terima kasih media sosial, akhirnya informasi
tersebut bisa disebarkan lebih gampang sehingga makin banyak orang yang tau
tentang pameran seni ini. Terbantu dengan akun twitter infosenijogja, saya
melihat banyak sekali poster pameran seni (yang kebanyakan di daerah selatan)
diinformasikan.
….
“Eh kamu tau tentang pameran seni
ini?”
“Tau kok”
“Udah ke sana belum?”
“Belum sih, tapi kayaknya keren-keren”
“Lho, kenapa belum ke sana?”
“Gak ada temen ke sana soalnya”
Kayaknya emang semakin ke sini,
semakin temen itu dibutuhkan. Banyak orang yang gak mau pergi sendiri, lantas
mencari teman. Jika tak ada teman ya gak ke sana. Mungkin ini yang terjadi pada
beberapa pameran seni.
Akhir-akhir ini saya plesir ke beberapa pameran seni dengan beberapa teman, ada yang ramai, ada yang sepi. Bukan ramai tidaknya yang ingin saya garisbawahi. Ada salah satu pameran yang menurut saya keren, yaitu Pameran Tanah Air oleh Mas Hestu. Apakah pameran ini keren karena karya seninya? Ya memang karya seninya keren-keren, tapi ada hal penting yang lebih keren dari karyanya. Hal tersebut adalah tentang jembatan apresiasi. Jembatan apresiasi itu apa? Iseng aja sih memberi sebutan Jembatan Apresiasi, namun maksud saya lebih kepada ada proses di mana seniman mampu berdiskusi dengan audiens, berbicara dalam konteks karya seni untuk mengartikan apa ekspresinya. Saya masih ingat di sore itu Mas Hestu duduk di tikar sederhana di tengah pameran, ngobrol kepada saya dan teman-teman pengunjung pameran. Pameran itu berjudul Pameran Tanah Air, di mana karya seninya berhubungan tentang keadaan tanah air kita saat ini dan bentuk kritik atas berbagai aksi perusakan lingkungan terlebih karena ijin yang diberikan oleh Pemerintah. Saya sampai keasikan ngobrol tentang lingkungan kepada Mas Hestu karena saya memiliki latar belakang sebagai orang Riau, yang dulu acapkali diliburkan sekolahnya karena polusi asap pembakaran hutan. Banyak yang aktif berdiskusi, memberi insight atas apa yang terjadi di sana dan juga kadang ada masukan karya. Buat saya ini hal seru, karena saya akhirnya mampu menerjemahkan karya seni dengan baik. Entah apa yang saya tangkap ketika diskusi itu tidak terjadi. Beberapa teman plesir saya adalah orang-orang awam seperti saya, yang gagap seni. Syukurlah mereka banyak terbantu dengan diskusi tersebut dan akhirnya bisa pulang dengan apresiasi yang berlebih.
![]() |
Diskusi Dengan Mas Hestu |
Buat saya, pameran seni yang
tujuannya untuk publik bukanlah hanya membuka rolling door, mengundang orang datang dan hanya melabeli dengan caption. Jembatan apresiasi itulah yang
kemudian mampu menransfer ekspresi dan pikiran si seniman ke publik. Pesan di
balik karya seni itulah yang perlu diberikan kepada publik. Iya, memang
memahami karya seni sangat subjektif dan apresiasi adalah persepsi
masing-masing, namun untuk mereka yang bahkan sulit memahami seni, perlu adanya
guidance. Maka seni kemudian
seluruhnya menjadi seni ketika pesan itu mendapat apresiasi. Maka maafkanlah
tulisan ini, ya sekali lagi saya tegaskan, saya bukan seniman.
Salam, penikmat seni masa kini.
No comments:
Post a Comment